Ramadan
  • 23 Sep 2025

Dari kode sederhana pada 1994 hingga ikon industri animasi global, Blender lahir dari visi Ton Roosendaal. Kisah ini merayakan 31 tahun perjalanan inovasi, komunitas terbuka, dan dampak luar biasa software gratis ini di dunia kreatif Indonesia dan global.

Pada 2 Januari 1994, sebuah momen sederhana namun monumental terjadi ketika Ton Roosendaal, seorang pengembang Belanda berbakat, mulai menulis baris kode pertama untuk apa yang akan menjadi Blender—software animasi dan pemodelan 3D yang mengubah wajah industri kreatif. Kini, pada 21 September 2025, tepat 31 tahun berlalu sejak hari itu, menandai perjalanan panjang penuh dedikasi, inovasi, dan semangat komunitas terbuka. Di Indonesia, di mana kreativitas digital mulai mekar di kalangan anak muda dan profesional, Blender bukan sekadar alat—ia jadi simbol aksesibilitas dan kekuatan kolaborasi global. Dari garasi kecil di Amsterdam hingga studio animasi rumahan di Bandung, perjalanan Blender mencerminkan bagaimana visi satu orang bisa membuka pintu bagi jutaan kreator di seluruh dunia, termasuk di tanah air yang kaya akan bakat seni.

Awal mula Blender lahir dari kebutuhan praktis Ton Roosendaal saat bekerja di NeoGeo, sebuah perusahaan animasi Belanda. Pada era 90-an, software 3D mahal dan eksklusif, terbatas pada studio besar dengan anggaran besar seperti Pixar atau Disney. Ton melihat celah—mengapa tak ciptakan alat gratis yang kuat untuk semua? Dengan kode pertamanya pada 1994, ia meletakkan fondasi untuk software yang awalnya bernama "Blender 3D"—nama yang terinspirasi dari blender dapur, mencerminkan kemampuannya "mencampur" berbagai elemen kreatif. Proyek ini berkembang di bawah NeoGeo hingga 1998, saat perusahaan bangkrut. Ton, dengan semangat pantang menyerah, membeli hak Blender dan meluncurkan Not a Number (NaN) untuk melanjutkan pengembangannya. Namun, NaN juga tak bertahan lama, dan pada 2002, ia mengambil langkah berani: membuat Blender open-source melalui kampanye crowdfunding yang mengumpulkan $100.000 dalam waktu singkat—momen yang jadi titik balik sejarah.

Sejak menjadi open-source, Blender tumbuh pesat berkat kontribusi ribuan pengembang dan seniman di seluruh dunia. Pada 31 tahun perjalanannya, software ini kini mendukung segala hal: pemodelan, animasi, rendering, hingga simulasi fisika canggih seperti yang terlihat di film "Spider-Man: Across the Spider-Verse" atau game indie populer. Di Indonesia, komunitas Blender mulai berkembang sejak 2010-an, terutama di kalangan mahasiswa seni dan desain grafis di universitas seperti ITB atau ISI Yogyakarta. Anak muda di Jakarta atau Surabaya memanfaatkannya untuk proyek pribadi—dari animasi pendek bertema budaya lokal seperti wayang hingga desain karakter untuk game mobile. Gratis dan fleksibel, Blender membuka peluang bagi mereka yang tak mampu beli software berbayar seperti Maya atau 3ds Max, menjadikannya alat demokratisasi kreativitas.

Ton Roosendaal, yang kini menjabat sebagai ketua Blender Foundation, tak hanya pencipta tapi juga arsitek komunitas global. Ia sering bilang, ā€œBlender bukan milikku, tapi milik semua yang berkontribusi.ā€ Visi ini terwujud dalam rilis rutin seperti Blender 2.8 pada 2019, yang membawa antarmuka baru dan performa lebih baik, hingga versi terbaru 4.2 pada 2025 yang menambah fitur AI untuk animasi real-time. Di tanah air, komunitas lokal seperti Blender Indonesia mengadakan workshop di kafe kreatif atau kampus, mengajarkan teknik rendering Cycles atau sculpting untuk proyek film pendek. Event seperti Blender Conference yang digelar di Amsterdam setiap tahun juga diikuti oleh delegasi Indonesia, membawa pulang ilmu untuk dibagi di komunitas kecil-kecilan di Bali atau Medan.

Dampak 31 tahun Blender terasa di industri global dan lokal. Film independen seperti "Tears of Steel" (2012) dibuat sepenuhnya dengan Blender, membuktikan kualitasnya setara kompetitor berbayar. Di Indonesia, animasi pendek seperti ā€œLaskar Pelangiā€ versi digital atau proyek crowdfunding komunitas sering memanfaatkan Blender, menunjukkan bakat lokal yang bersaing di panggung internasional. Bahkan di dunia pendidikan, sekolah seni di Jogja mulai masukkan Blender ke kurikulum, melatih generasi muda untuk siap masuk industri tanpa hambatan biaya. Data dari Blender Foundation menunjukkan lebih dari 10 juta unduhan pada 2025, dengan pengguna aktif di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, naik 15% dalam dua tahun terakhir—bukti komunitas ini terus berkembang.

Perjalanan 31 tahun Blender juga penuh tantangan. Ton pernah menghadapi kritik soal stabilitas awal dan keterbatasan fitur, tapi komunitasnya membuktikan kekuatan kolaborasi. Di Indonesia, kendala seperti akses internet lambat di daerah terpencil atau kurangnya mentor lokal perlahan diatasi dengan tutorial YouTube berbahasa Indonesia dan forum daring. Ton sendiri tetap aktif, sering berbagi inspirasi via media sosial, mendorong kreator untuk ā€œberani bermimpi besar dengan alat gratis.ā€ Pada 2025, ia merayakan ulang tahun Blender dengan janji pengembangan fitur VR dan cloud rendering, membuka babak baru untuk masa depan animasi.

Blender bukan cuma software, tapi gerakan yang mengubah cara kita melihat kreativitas. Di Metavora, kami merayakan 31 tahun ini sebagai bukti bahwa visi, kerja keras, dan komunitas bisa menciptakan karya abadi—dari garasi Belanda hingga studio rumahan di Indonesia.

Baca terus artikel-artikel menarik dari Metavora.co, Majalah Digital Indonesia