Ramadan
  • 19 Sep 2025

Trauma masa kecil sering meninggalkan jejak tak terlihat pada kehidupan dewasa. Salah satunya adalah kecanduan masturbasi sebagai pelarian emosional, yang perlahan menjauhkan dari cinta sejati dan hubungan bermakna

Di balik wajah yang tampak biasa, ada jiwa yang diam-diam berperang melawan bayangan masa kecil. Trauma yang dulu dianggap remeh ternyata mampu membentuk jalan hidup, menciptakan jurang dalam antara diri dan dunia luar. Dalam keheningan malam, banyak orang menemukan dirinya terjebak dalam pusaran masturbasi berulang, bukan sekadar karena dorongan biologis, melainkan karena luka emosional yang belum pernah disembuhkan. Masturbasi, yang seharusnya bisa menjadi bagian normal dari pengalaman seksual manusia, berubah menjadi rantai yang membelenggu, sebuah pelarian dari rasa sakit, rasa malu, dan ketakutan untuk benar-benar dekat dengan orang lain.

Fenomena ini bukanlah mitos. Sebuah penelitian dari Journal of Sexual Medicine (2015) menunjukkan bahwa kecanduan masturbasi dan pornografi seringkali terkait dengan regulasi emosi yang buruk, terutama pada individu dengan riwayat trauma masa kecil. Otak, yang sejak awal diprogram untuk mencari dopamin sebagai penghargaan, menjadikan masturbasi sebagai jalur pintas untuk meredakan cemas atau kesepian. Namun, di balik itu, muncul siklus berbahaya: rasa puas yang singkat diikuti oleh rasa bersalah, kekosongan, dan kebutuhan untuk mengulanginya lagi. Lama-kelamaan, keintiman sejati dengan pasangan nyata terasa asing, bahkan menakutkan.

Dalam dunia psikologi, hal ini dikenal sebagai mekanisme coping maladaptif. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan, pengabaian, atau pelecehan sering kali belajar sejak dini bahwa keintiman membawa rasa sakit. Ketika dewasa, tubuh mereka mencari cara aman untuk merasakan "kedekatan" tanpa risiko ditolak atau disakiti. Masturbasi pun dipilih sebagai jalur aman. Tidak ada penolakan, tidak ada luka baru. Hanya ada kendali penuh pada tubuh sendiri. Tetapi ironi pahit terjadi: semakin sering memilih pelarian ini, semakin sulit menjalin hubungan bermakna dengan orang lain.

Bayangkan seseorang yang setiap kali merasa cemas atau sedih, memilih menutup diri dan mencari kepuasan instan melalui masturbasi. Perlahan, ia membangun tembok tinggi yang memisahkannya dari orang-orang yang sebenarnya bisa memberikan cinta tulus. Hubungan romantis yang membutuhkan keberanian untuk terbuka menjadi sulit. Ada ketakutan besar untuk ditolak, ada rasa malu yang menghantui, ada bisikan batin yang berkata, "Aku tidak layak dicintai." Trauma masa kecil menanamkan keyakinan keliru bahwa keintiman akan selalu berakhir dengan sakit hati. Itulah sebabnya, banyak yang akhirnya lebih memilih isolasi.

Sains pun menguatkan gambaran ini. Studi dalam Frontiers in Psychology (2019) menunjukkan bahwa pelecehan emosional pada masa kecil berkorelasi dengan tingkat kesulitan yang tinggi dalam mengatur emosi ketika dewasa. Ketidakmampuan ini kemudian sering terwujud dalam perilaku kompulsif seperti kecanduan masturbasi. Otak memberikan dopamin sebagai pengganti kehangatan emosional yang dulu tidak pernah dirasakan. Tapi dopamin hanyalah fatamorgana, memberi rasa senang sesaat sebelum kembali menjerumuskan pada kekosongan.

Kekosongan inilah yang paling berbahaya. Ia membuat seseorang menjadi kebas, tidak lagi mampu merasakan kedekatan emosional yang dalam. Seksualitas pun kehilangan makna sebagai jembatan menuju cinta, berubah menjadi sekadar ritual pelepasan tegang. Lebih buruk lagi, tubuh menjadi lelah, energi terkuras, pikiran kabur. Rasa bersalah datang berulang, tapi motivasi untuk berubah sering gagal terwujud. Bagaimana bisa berubah, jika masturbasi sudah tertanam sebagai satu-satunya cara untuk merasa aman? Trauma masa kecil menciptakan labirin tanpa jalan keluar, kecuali jika ada keberanian untuk menghadapi akar masalah.

Namun, bukan berarti semua ini tidak bisa disembuhkan. Terapi berbasis trauma, seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), telah terbukti efektif membantu individu mengurai simpul emosional masa lalu. Menurut American Psychological Association (APA), metode ini dapat menurunkan intensitas gejala traumatis sekaligus membuka ruang baru bagi keintiman yang sehat. Prosesnya memang tidak mudah, karena ia mengajak seseorang kembali menghadapi luka yang paling ingin dilupakan. Tetapi justru di sanalah letak kunci penyembuhan.

Kecanduan masturbasi akibat trauma masa kecil adalah kisah tentang jiwa yang mencari rumah. Rumah itu bukanlah sekadar tubuh sendiri, melainkan pelukan yang mampu menerima tanpa menghakimi. Banyak orang yang masih belum sadar bahwa siklus ini bisa diputus dengan cara memeluk kembali sisi rentan dalam diri, bukan dengan melarikan diri darinya. Dalam perjalanan ini, dukungan lingkungan, komunitas sehat, dan hubungan yang aman memainkan peran besar. Rasa percaya, yang dulu hancur, bisa dibangun kembali setahap demi setahap.

Dari perspektif spiritual, fenomena ini pun tak kalah dalam. Banyak tradisi spiritual menekankan bahwa tubuh dan jiwa manusia diciptakan untuk saling terhubung, bukan terpisah. Ketika seseorang terus-menerus menutup diri dari cinta sejati, ia sejatinya sedang menjauh dari desain alaminya sebagai makhluk sosial dan emosional. Masturbasi menjadi simbol keterasingan modern: sebuah usaha mencari kebahagiaan tanpa harus mengambil risiko mencintai. Padahal, risiko itu adalah jembatan yang membuat manusia bisa tumbuh.

Di era digital, masalah ini semakin kompleks. Akses mudah ke pornografi memperkuat siklus kecanduan. Data dari Internet Watch Foundation (2022) menunjukkan lonjakan signifikan dalam konsumsi konten seksual daring yang berhubungan langsung dengan meningkatnya kasus kecanduan seksual. Setiap klik membawa dopamin baru, setiap tontonan menciptakan kebiasaan baru. Trauma masa kecil yang belum disembuhkan menemukan bahan bakar dalam dunia virtual, menjadikan masturbasi bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan mendesak. Akibatnya, banyak orang hidup dalam kelelahan emosional permanen, seolah energi hidupnya terkuras dalam siklus yang tak pernah berhenti.

Pertanyaan besar pun muncul: apakah jalan keluar mungkin? Jawabannya ya, tapi bukan dengan jalan pintas. Perubahan nyata dimulai dari kesadaran bahwa masturbasi hanyalah gejala, bukan akar. Akar sesungguhnya adalah trauma masa kecil yang belum pernah diberi ruang untuk diproses. Penyembuhan berarti berani menatap masa lalu, menerima bahwa luka itu nyata, dan memberi kesempatan diri untuk merasakan kembali keintiman yang sehat. Psikoterapi, dukungan spiritual, hingga pola hidup sehat adalah kombinasi yang bisa menyalakan cahaya dalam kegelapan panjang.

Mungkin, bagi sebagian orang, cerita ini terdengar terlalu berat. Tetapi kenyataannya, banyak jiwa di luar sana yang menjalani hidup dalam keheningan luka ini. Mereka tampak normal, tersenyum di luar, namun di dalam hatinya ada jurang kesepian. Mereka tidak menyadari bahwa tubuh mereka sudah lama memberi sinyal lelah. Mereka belum sadar bahwa keinginan untuk berhenti, meski sering gagal, adalah tanda bahwa jiwa mereka masih ingin disembuhkan. Harapan itu masih ada, selalu ada.

Penyembuhan memang bukan proses instan. Ia butuh keberanian, kesabaran, dan terkadang air mata. Tetapi ketika seseorang mulai berani melepaskan pelarian singkat dan memilih menghadapi rasa sakit, sesuatu yang indah terjadi. Ia perlahan menemukan bahwa keintiman sejati bukanlah ancaman, melainkan anugerah. Bahwa dirinya layak dicintai, meski masa lalunya penuh luka. Bahwa hubungan manusiawi yang hangat bisa jauh lebih kuat daripada dopamin sesaat. Dan di situlah kebebasan sejati ditemukan.

Trauma masa kecil tidak bisa dihapus, tetapi bisa dipahami. Kecanduan masturbasi bukan takdir, melainkan gejala yang bisa diatasi. Setiap orang berhak menemukan kembali arti keintiman, cinta, dan kedekatan yang sehat. Mungkin jalan ini panjang, tapi di ujungnya ada cahaya yang menunggu. Cahaya yang berkata: kamu tidak sendirian, dan kamu layak untuk sembuh.

Baca terus artikel menarik di Metavora.co

 

Nazwa Fatimah

The Cat seemed to have got altered.' 'It is wrong from beginning to think that very few things.