Di balik konflik Gaza, pejuang Palestina bukan sekadar militan; mereka punya lapisan keberanian, kecerdikan, dan iman yang dalam. Dari ketangguhan di terowongan hingga sisi lembut yang tak terduga, apa yang bikin Israel geleng kepala? Kisah nyata dari doktrin hingga medan perang ini ungkap fakta mengejutkan.
Perlawanan rakyat Palestina sejak era Intifada pertama selalu melibatkan berbagai faksi yang saling melengkapi, di mana setiap kelompok membawa warna sendiri ke medan tempur yang penuh puing dan ketegangan. Hamas, dengan sayap militernya Izz ad-Din al-Qassam Brigades, mendominasi Gaza sebagai kekuatan Sunni Islamis yang lahir dari Ikhwanul Muslimin pada 1987, sementara Palestinian Islamic Jihad atau PIJ melalui Saraya al-Quds fokus pada jihad murni tanpa beban sosial politik yang lebih luas.Â
Di Tepi Barat, Al-Aqsa Martyrs' Brigades dari Fatah—faksi sekuler utama dalam PLO—menjadi tulang punggung perlawanan urban, dan Popular Front for the Liberation of Palestine atau PFLP dengan Abu Ali Mustafa Brigades membawa semangat Marxis-Leninis yang internasionalis. Mereka semua berbagi akar perjuangan melawan pendudukan, tapi ciri pejuangnya beda: Hamas dikenal dengan disiplin ideologis yang ketat, PIJ dengan kesederhanaan militan, Fatah dengan jaringan lokal yang fleksibel, dan PFLP dengan taktik gerilya global.Â
Laporan dari Washington Institute for Near East Policy menggambarkan bagaimana struktur ini—dari 15.000 hingga 16.000 pejuang potensial di Hamas saja—membuat Israel harus hadapi ancaman asimetris yang sulit diprediksi, di mana setiap faksi tambah lapisan kompleksitas ke konflik yang sudah rumit.
Â
Pejuang Hamas sering digambarkan sebagai sosok tangguh yang lahir dari blokade Gaza sejak 2007, dengan ciri fisik sederhana tapi mental baja: pria muda berusia 18-30 tahun, banyak yang berbadan tegap dari latihan fisik rutin di pantai berpasir atau terowongan bawah tanah. Mereka tak selalu tampil dramatis; model pakaian utama adalah baju sipil seperti kaos oblong dan celana jeans untuk menyamar di antara warga, tapi saat operasi, mereka pakai rompi taktis hitam atau hijau zaitun dengan emblem Qassam—lambang pedang dan Al-Qur'an—lengkap dengan topi boina atau bandana hijau. Ini kontras dengan image militan beratapi, karena fleksibilitas pakaian ini bagian dari taktik utama mereka: blend in untuk hindari deteksi drone IDF. Senjata andalan mereka campur impor dan rakitan lokal, mulai dari senapan serbu AK-47 atau M-16 curian, senapan sniper Dragunov untuk tembakan jarak jauh, hingga RPG-7 anti-tank yang ikonik—senjata Soviet era yang mudah didapat via terowongan smuggling dari Mesir. Tak ketinggalan roket Qassam buatan rumah dari pipa besi dan pupuk, mortar 81mm atau 120mm, serta IED dengan efek proyektil yang mematikan, semuanya dirakit di bengkel rahasia Gaza. Kemampuan intelijen mereka kuat di level lokal, pakai jaringan informan sipil dan drone komersial murah untuk pantau perbatasan, sementara pengintaian dilakukan via pos pengamatan tersembunyi di rumah-rumah pinggir kota.
Taktik penyergapan Hamas seperti permainan catur di reruntuhan: mereka bangun tiga lapis pertahanan, mulai dari garis pertama 1-2 km dari pagar Israel dengan ranjau dan penyergapan IED, lalu garis kedua di pinggir kota dengan sniper dan anti-tank, hingga garis ketiga di pusat urban pakai terowongan "Gaza Metro" panjang ratusan kilometer untuk gerak cepat. Keberanian bertempur jarak nol jadi ciri khas; meski hindari pertempuran besar, pejuang mereka siap terlibat dalam serangan kecil taktis yang berlangsung menit-menit, seperti di Operasi Cast Lead 2008-2009, di mana unit kompi atau batalyon lawan pasukan IDF di bangunan padat. Laporan IDF sendiri akui ketangguhan ini—fighter Hamas jarang mundur, bahkan saat terluka, karena keyakinan syahid ubah rasa takut jadi tawakal. Hal tak terduga: banyak yang punya latar belakang pendidikan teknik, yang mereka pakai untuk bangun ventilasi terowongan atau jebak tank dengan EFP rakitan, buat intelijen Israel kewalahan prediksi gerak mereka.
Â
Sementara itu, pejuang PIJ menonjol dengan kesederhanaan militan yang lebih murni, lahir dari Gazan radikal pada 1981 dengan dukungan Iran yang kuat via Korps Garda Revolusi. Ciri mereka mirip Hamas tapi lebih ramping: kelompok kecil sekitar 8.000-10.000 fighter, fokus jihad tanpa jaringan sosial luas seperti Hamas, sehingga pejuangnya sering terlihat lebih kurus dan gesit, lahir dari kondisi Gaza yang keras. Pakaian mereka sederhana banget—kaos polos, celana kargo, dan sepatu boot bekas—dengan emblem Saraya al-Quds berupa burung elang hitam di lengan, jarang pakai rompi tebal karena prioritas mobilitas tinggi. Senjata utama adalah roket Badr-3 impor Iran dengan jangkauan 150 km, senapan serbu Kalashnikov varian, granat tangan, dan anti-tank Kornet yang canggih, plus IED sederhana untuk jebak patroli. Kemampuan intelijen PIJ bergantung koordinasi dengan Hamas; mereka pakai radio amatir dan informan di masjid untuk kumpul data, sementara pengintaian dilakukan via perahu karet di pantai atau drone kecil untuk pantau pos IDF.
Penyergapan PIJ seperti serangan kilat: joint drill dengan Hamas sejak 2018, seperti latihan Strong Pillar 2020-2023, latih mereka breaching pagar dengan paraglider atau motor, lalu hostage-taking di compound simulasi. Keberanian jarak nol terbukti di 7 Oktober 2023, di mana fighter PIJ ikut tembus kibbutz Israel, lawan tentara jarak dekat pakai pisau dan pistol, klaim rebut sandera meski jumlah kalah telak. Analisis BBC tunjukkan bagaimana latihan ini—di 14 situs Gaza, bahkan dekat pengamat Israel—buat mereka siap hadapi respons cepat IDF, dengan mental yang tak kenal mundur karena ideologi jihad yang absolut. Tak terduga, PIJ sering kolaborasi dengan faksi lain, buat axis resistance Iran yang sulit dipecah.
Â
Pindah ke Tepi Barat, pejuang Al-Aqsa Martyrs' Brigades dari Fatah hadir dengan nuansa sekuler yang lebih nasionalis, lahir selama Intifada Kedua 2000 sebagai jaringan longgar anti-pendudukan. Ciri mereka urban dan adaptif: pemuda Jenin atau Nablus berusia 20-an, badan lincah dari lari-lari di bukit zaitun, dengan janggut tipis atau kumis ala pejuang lama. Model pakaian ikonik adalah keffiyeh hitam-putih motif kotak di leher, jaket denim atau rompi kulit untuk sembunyiin pistol, dan celana cargo praktis—gaya yang campur tradisi Palestina dengan street fighter modern. Senjata lebih ringan: pistol Glock atau Jericho curian dari PA security, senapan M-16 ringan, granat tangan, dan bom pipa improvisasi untuk jebak checkpoint. Kemampuan intelijen kuat di level komunitas; mereka pakai jaringan keluarga di kamp pengungsi seperti Jenin untuk kumpul info, sementara pengintaian dilakukan via HP sederhana rekam patroli IDF di gang sempit.
Taktik penyergapan AAMB adalah hit-and-run klasik: serang pos Israel di Nablus dengan tembakan drive-by, lalu kabur ke labirin kota, seperti bentrokan 2022 di mana komandan Ibrahim al-Nabulsi pimpin serangan jarak dekat. Keberanian bertempur nol meter jadi legenda; di kamp Jenin, fighter mereka lawan pasukan elit IDF pakai batu dan senjata ringan, tahan berjam-jam di rumah-rumah rusak, dengan semangat nasionalis yang dorong mereka abaikan superioritas musuh. Laporan Al Jazeera gambarkan bagaimana ciri ini—fleksibel tapi gigih—buat Tepi Barat jadi hotspot perlawanan, di mana satu penyergapan kecil bisa picu solidaritas luas. Hal mengejutkan: meski bagian Fatah yang pro-PLO, AAMB sering independen, tolak campur tangan Abbas untuk fokus lindungi warga lokal dari settler violence.
Â
Tak lengkap tanpa PFLP, faksi kiri radikal yang lahir 1967 dengan ideologi Marxis-Leninis, di mana pejuangnya seperti veteran revolusi global: intelektual muda dengan kacamata dan jenggot rapi, berlatar belakang aktivis universitas Ramallah atau kamp Balata. Ciri mental mereka unik—internasionalis, lihat perjuangan Palestina sebagai bagian anti-imperialisme dunia—dengan pakaian ala gerilya: jaket kulit hitam, syal merah emblem PFLP, dan sepatu hiking untuk medan berbukit. Senjata beragam: senapan serbu Soviet lama seperti AKM, roket tawon impor, pistol Makarov, dan bom waktu untuk sabotase, plus drone sederhana untuk propaganda. Kemampuan intelijen PFLP bergantung jaringan diaspora; mereka kumpul data via koalisi dengan kelompok kiri Eropa, sementara pengintaian pakai kamera tersembunyi di checkpoint Hebron.
Penyergapan PFLP lebih ideologis: aksi seperti pemboman bus atau serangan drone di 2023, diikuti klaim politik untuk tarik perhatian global. Keberanian jarak nol terlihat di operasi urban, di mana fighter Abu Ali Mustafa lawan pasukan IDF di gang sempit pakai granat dan tembakan close range, seperti di bentrokan Jenin 2002 di mana mereka tahan desakan tank dengan Molotov. Dokumen dari Progressive International tekankan bagaimana taktik ini—gerilya berkepanjangan—buat PFLP bertahan meski kecil, dengan semangat yang lahir dari keyakinan revolusi tak tergoyahkan. Tak terduga, mereka sering kolaborasi dengan faksi lain di joint ops, seperti drill 2020, buat perlawanan Palestina terasa monolitik meski ideologi beda.
Semua faksi ini saling melengkapi dalam perlawanan, di mana joint operation room sejak 2018 buat latihan bersama seperti breaching simulasi atau hostage drill, pakai motor Toyota putih dan paraglider yang akhirnya dipakai 7 Oktober. Senjata rakitan jadi equalizer: dari Qassam Hamas hingga bom pipa AAMB, semuanya lahir dari keterbatasan tapi ciptakan ketakutan di pihak Israel. Intelijen mereka, meski kalah tech dari Mossad, unggul di human element—informan yang rela mati demi info—sementara pengintaian via social media atau drone murah bikin IDF harus investasi miliaran di pertahanan. Penyergapan jarak dekat, entah di terowongan Gaza atau gang Nablus, tunjukkan keberanian kolektif: fighter rela hadapi tank Merkava pakai RPG, atau lawan sniper dengan granat, karena keyakinan bahwa perjuangan ini lebih besar dari nyawa individu.
Dari perspektif musuh, ketakutan Israel tak pada jumlah—Hamas dan PIJ saja kalah jumlah 1:10—tapi pada adaptasi cepat dan semangat tak tergoyahkan. Laporan CTC West Point gambarkan bagaimana axis Iran dengan faksi-faksi ini buat ancaman berkelanjutan, di mana satu penyergapan sukses seperti di kibbutz Be'eri picu gelombang rekrutmen. Pakaian sipil bikin sulit bedakan fighter dari warga, sementara taktik urban seperti booby-trap rumah tambah paranoia. Bahkan di close combat, di mana IDF superior, pejuang Palestina tunjukkan ketangguhan: bertahan di reruntuhan berhari-hari, pakai adrenalin dari solidaritas untuk lawan kelelahan. Fakta dari BBC EyeWitness tunjukkan bagaimana latihan rahasia dekat pagar Israel—pantau drone perempuan IDF yang diabaikan—buat intelijen mereka efektif, meski berisiko.
Lebih dalam, ciri pejuang ini penuh nuansa manusiawi. Di Hamas, fighter sering ayah yang ajari anak shalat sebelum misi; di AAMB, pemuda Jenin yang bantu tetangga bongkar puing pasca-raid. PFLP tambah lapisan intelektual, dengan fighter baca Lenin sambil rakit IED, sementara PIJ tetap murni militan, fokus doa dan serangan. Keberhasilan mereka bukan kemenangan militer, tapi bertahan: dari Intifada hingga sekarang, faksi-faksi ini jaga api perlawanan, rekrut generasi baru via camp musim panas atau diskusi masjid. Senjata sederhana seperti RPG-7—dipakai sejak 1967—jadi simbol ketekunan, di mana setiap tembakan ingatkan bahwa tech tinggi IDF tak selalu menang lawan hati yang gigih.
Di tengah blokade dan serangan udara, kemampuan ini lahir dari kebutuhan: pengintaian via HP rekam patroli, penyergapan pakai motor curi untuk kejut, dan close combat dengan pisau jika amunisi habis. Israel, via Shin Bet, khawatir jaringan ini sebarkan ke luar—dari Tepi Barat ke diaspora—buat ancaman hybrid yang susah dihentikan. Tapi bagi pejuang, ini soal warisan: ciri mereka, dari keffiyeh Fatah hingga emblem Qassam, simbol identitas yang tak tergantikan.
Cerita faksi-faksi ini, penuh darah dan harapan, ingatkan bahwa perlawanan Palestina bukan monolith, tapi mozaik strategi dan semangat. Dari roket Gaza hingga tembakan Jenin, mereka buktikan bahwa keberanian jarak nol dan kecerdikan lokal bisa ubah dinamika konflik. Di Metavora, kami selalu mendorong pembaca untuk pahami lapisan isu seperti ini, karena pengetahuan bisa jadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam.
Baca terus artikel-artikel menarik dari Metavora.co, Majalah Digital Indonesia
Resolusi PBB September 2025 melalui Deklarasi New York mendukung solusi dua negara untuk Palestina, disetujui 142 negara. AS menolak keras, Eropa terpecah, sementara Indonesia tetap vokal pro-Palestina. Bagaimana Rusia, Cina, dan Korut bereaksi? Simak kisah diplomasi yang mengguncang Timur Tengah!
Sergey Nochovnyy, pengusaha sukses Moskow dengan jutaan dolar, memilih jadi kurir saat lockdown demi pengalaman hidup berbeda yang membuka mata dan inspiratif.
El Chapo, raja narkoba kontroversial, mengubah hidupnya dari kemiskinan ke puncak kekuasaan. Kisah penuh intrik, skandal, dan pelajaran hidup inspiratif yang menggemparkan dunia.